Pandeglang, -Ketua Indonesia Contra Terror (ICT), Syailendra Adi Sapta, menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara dan melukai puluhan siswa.
Dirinya Menganalisis sementara ini disusun berdasarkan pemberitaan media nasional yang beredar, bukan hasil investigasi lapangan.
Beberapa pemberitaan menyebut pelaku sempat menakut-nakuti siswa lain menggunakan senjata replika laras panjang sebelum terjadinya ledakan. Jika benar demikian, semestinya tindakan tersebut sudah diketahui oleh guru atau petugas keamanan sekolah. Fakta bahwa peristiwa ini tetap berlanjut menandakan adanya kemungkinan kelalaian dalam pengawasan dan sistem keamanan sekolah. Ucap Sapta Sabtu,8/11/2025
Lanjut sapta, Narasi yang menyebut pelaku sebagai korban perundungan patut dikritisi secara logis. Pelaku di kabarkan kelas XII senior di sekolah tersebut dan seseorang yang benar-benar tertekan dan terpinggirkan umumnya menutup diri, bukan menantang secara terbuka. Tindakan membawa senjata dan menakuti siswa lain menunjukkan indikasi dominasi, bukan kelemahan. Oleh karena itu, motif “dibully” perlu diverifikasi lebih lanjut agar tidak menutupi faktor lain yang mungkin lebih kompleks. tuturnya
Senjata jenis shotgun tidak diperbolehkan dibawa ke lingkungan pendidikan tanpa izin resmi dari kepolisian. Bila barang tersebut dapat masuk ke area sekolah, hal ini mencerminkan kegagalan sistem keamanan internal. Pihak sekolah perlu memberi penjelasan menyeluruh terkait mekanisme pengawasan barang bawaan siswa.
Informasi yang menyebut ledakan terjadi saat salat Jumat di aula atau musala sekolah juga perlu ditinjau dari aspek syariat. Salat Jumat lazimnya dilaksanakan di masjid jami’, bukan di aula sekolah, kecuali terdapat uzur syar’i yang sah. Hal ini menambah daftar pertanyaan mengenai konteks kegiatan keagamaan di sekolah saat peristiwa terjadi.
Daya ledak yang menimbulkan puluhan korban luka menunjukkan bahwa bahan yang digunakan bukan petasan biasa. Perlu diselidiki asal bahan dan tingkat pengetahuan teknis pelaku, apakah murni hasil perakitan sendiri atau ada pihak lain yang turut berperan. jelasnya
Kasus ini tidak hanya persoalan individual, tetapi juga cermin rapuhnya sistem sosial di lingkungan sekolah. ICT memandang perlunya penyelidikan menyeluruh dan keterbukaan informasi publik agar masyarakat tidak terjebak pada narasi tunggal yang belum terbukti. tutup
Syailendra Adi Sapta


