Pandeglang - Program Makanan Bergizi (MBG) yang disalurkan melalui mekanisme kemitraan antara Badan Gizi Nasional (BGN) dan yayasan mitra penyelenggara dapur (SPPG) sejatinya merupakan langkah strategis dalam memperbaiki kualitas gizi anak bangsa, terutama di wilayah dengan tingkat kerentanan ekonomi seperti Kabupaten Pandeglang.
Namun di lapangan, efektivitasnya belum sepenuhnya terukur secara kuantitatif maupun kualitatif, karena adanya keterputusan informasi antara lembaga pelaksana (yayasan) dan penerima manfaat (B3 dan siswa sekolah). ucap syailendra Sapta Jumat 14/11/2025
Masih Kata Sapta, Secara umum, masyarakat memahami bahwa alokasi anggaran MBG adalah Rp15.000 per porsi, dengan rincian:
Rp10.000 untuk bahan makanan (menu utama),
Rp3.000 untuk sewa dan fasilitas dapur,
Rp2.000 untuk biaya operasional.
Namun, transparansi pada tataran teknis pembelanjaan Rp10.000 untuk menu menjadi titik kabur. Pihak sekolah dan penerima manfaat (ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta siswa TK, SD, dan SMA) tidak mengetahui pola dan standar belanja bahan makanan tersebut, sehingga sulit memastikan apakah nilai gizi dan kualitas makanan sebanding dengan anggaran yang dialokasikan.
Dari sisi implementasi, sistem MBG sebenarnya dapat lebih efektif dan ekonomis jika.
1. Sekolah diberikan ruang partisipatif untuk mengatur pola konsumsi lokal dengan konsep prasmanan sehat, disesuaikan dengan jam istirahat atau jam pulang sekolah.
2. Bahan pangan lokal dimaksimalkan, seperti hasil pertanian dan perikanan setempat. Hal ini tidak hanya menjaga gizi anak, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat desa.
3. Evaluasi kuantitatif dan kualitatif dilakukan oleh pihak independen (akademisi, lembaga sosial, atau pemerintah daerah) untuk menilai efektivitas, ketepatan sasaran, serta dampak sosial ekonomi program.
Dari sudut pandang sosial, masyarakat menilai bahwa program MBG masih berorientasi pada distribusi, belum pada pemberdayaan.
Padahal, semangat utama kebijakan publik seharusnya adalah membangun kesadaran dan kemandirian masyarakat, bukan sekadar memberikan bantuan instan.
Kabupaten Pandeglang dalam konteks ini bisa dijadikan sampel representatif nasional, yang menggambarkan pola umum pelaksanaan MBG di berbagai daerah.
Fenomena keterbatasan informasi, lemahnya transparansi, dan minimnya partisipasi penerima manfaat di Pandeglang kemungkinan besar juga terjadi di wilayah lain dengan struktur kemitraan serupa. Jelasnya
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk menjadikan hasil evaluasi di Pandeglang sebagai referensi kebijakan nasional, agar program MBG ke depan lebih transparan, terukur, dan berpihak langsung pada masyarakat penerima manfaat.
Inspirasi yang dapat diambil dari situasi ini adalah perlunya sinkronisasi antara transparansi, pemberdayaan, dan efektivitas anggaran.
Pemerintah daerah dan lembaga mitra memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang keluar dari APBN benar-benar menjadi energi gizi dan harapan masa depan anak-anak Pandeglang — dan Indonesia. Pungkasnya


